Ini kisah klasik, yang hampir menjadi legenda sukses bisnis komputer. Ada dua besaran yang menentukan beroperasinya seperangkat komputer. Perangkat keras (hardware) yang berintikan prosesor dan perangkat lunak (software) yang berintikan Sistem operasi. Intel adalah satu dari sedikit perusahaan yang fokus bisnisnya memproduksi prosesor, sementara kita semua tahu Microsoft adalah rajanya software sistem operasi dengan nama produk Windows. Andy Groove, kala itu adalah CEO Intel yang terkenal dengan kalimatnya “Hanya Paranoid yang bisa bertahan!” menyampaikan kecamannya kepada Microsoft:”Microsoft tidak punya perasaan yang sama dengan kami. Penggunaan komputer personal (PC) sekarang belum mencapai batas kemampuan puncak mikroprosesor yang kami buat….ini tidak baik buat pelanggan kami.”
Lewat kecaman itu, sebenarnya Andy Groove ingin mengatakan bahwa prosesor buatannya sangat ekselen dan menantang agar microsoft menciptakan software yang sama ekselennya, agar bisnis mereka terus bertahan. Memang, kemudian Microsoft terpacu untuk memutakhirkan Windows dengan versi-versi yang lebih canggih, yang hanya dioperasikan dengan menggunakan mikroprosesor Pentium 4. Pada giliran berikutnya, Intel meluncurkan Pentium Dual Core untuk mengimbangi Windows Vista yang lebih canggih lagi. Inilah praktik paling nyata dari strategi komplementasi. Siapa yang diuntungkan? Keduanya. Bisnis perangkat keras maju jika bisnis perangkat lunak pesat, begitu pula bisnis perangkat lunak pesat bila perangkat keras pesat.
Praktik komplementasi seperti ini cukup banyak bertebaran dalam dunia bisnis. Industri asuransi maju pesat karena berkomplementasi dengan perusahaan mobil. Demikian pula dengan kotak bermain PS2 terus berkembang karena EA Electronic terus memproduksi game-game yang makin memikat. Piranti Handphone juga makin melejit saja tingkat penjualannya karena facebook dan yahoo messenger semakin canggih dan mudah diakses di perangkat seluler ini.
Adam M Brandenburger & Barry J. Nalebuff dalam bukunya Coopetition (1997) bertutur bahwa komplemen dapat menjadi faktor pembeda antara kesuksesan dan kegagalan bisnis. Lebih lanjut dikemukakan bahwa dalam pendekatan ko-opetisi, bisnis tak hanya fokus kepada pelanggan tetapi juga pemasok produk atau jasa komplementer. Karena seringkali, keberhasilan bisnis kita juga sangat dipengaruhi oleh mutu dan ekselensi para pemasok.
Pendekatan ko-opetisi mengajari kita agar melihat para pelaku bisnis dari dua sisi yang bersamaan, mitra dalam menciptakan pasar sekaligus pesaing dalam meraih pasar. Ini pula yang menyebabkan kenapa toko elektronik yang berjejer di suatu kawasan pertokoan akan lebih laku dibandingkan bila berdiri sendiri di suatu tempat. Karena sesungguhnya, toko-toko elektronik ini saling berkomplementer untuk menciptakan pasar sekaligus bersaing memperebutkan pasar yang sudah tercipta itu. Itu pula yang menyebabkan, mengapa ketika komputer dan teknologi telematika hadir ternyata tidak menghapuskan teknologi kertas. Alih-alih munculnya “kantor bebas kertas” yang terjadi adalah komputer memudahkan kerja kertas.
Apa maknanya buat Pos Indonesia? Bisnis Pos kini dipahami tidaklah berdiri sendiri. Tak ada lagi cerita monopoli. Tapi Pos harus mengikuti permainan bisnis yang terbuka. Pos juga tak lagi memandang permainan bisnis dengan zero sum game, menang kalah. Pos melihat perkembangan teknologi telematika bukan lagi sebagai musuh yang bakal mematikan surat atau layanan pos lainnya, tapi menjadi komplemen yang akhirnya membuat kiriman wesel pos bisa secepat Anda merebus mie instan, teknologi itu pula yang membuat kantor pos kini sangat ramai dikunjungi orang yang melakukan aneka transaksi keuangan. Pos juga memandang bahwa ada banyak pihak yang dapat menjadi komplementor yang baik buat bisnis pos, maka kami menggandeng Bank Mandiri, Pura Barutama, FIF, PT Kereta Api, Garuda Indonesia, atau perusahaan swasta lainnya. Layanan ekselen mereka memacu Pos Indonesia untuk menyajikan pelayanan perposan yang jauh lebih baik lagi.