Kisah berikut ini terjadi belasan tahun silam. Sebuah kisah yang selalu menjadi pengingat saya untuk melakukan segala hal terbaik yang dapat dilakukan, agar peristiwa ini tak pernah kembali terjadi di lingkungan Pos Indonesia.
Suatu pagi di kantor pos yang sibuk, seorang lelaki paruh baya ikut mengantri di loket. Pakaiannya rapi, kemeja lengan panjang, celana necis, lengkap dengan dasi warna merah terang. Sementara di tangannya tergenggam sebuah bungkusan cukup besar. Hari itu, kantor pos memang sedang ramai, tak heran bila pada sejumlah loket pelayanan terdapat antrian panjang. Lelaki paruh baya itu mengantri kira-kira pada urutan 15 pada loket suratpos.
Setelah setengah jam berlalu, akhirnya lelaki paruh baya itu sampai di muka loket. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu,” Dengan senyum manisnya petugas loket menyapa. Sang lelaki paruh baya itu pun berkata bahwa dirinya hendak mengirimkan barang seraya menyerahkan barang yang ada di tangannya.
Setelah memperhatikan barang tersebut dan menimbang-nimbang petugas pun berucap; ” Maaf Pak, Bapak salah mengantri. Mestinya Bapak mengantri di loket paket yang ada di sebelah.”
“Lha….bukannya sama saja loket yang di sini dengan yang di sana?” sang lelaki paruh baya itu setengah meyakinkan diri.
Petugas loket menggelengkan kepala. Sang lelaki paruh baya pun keluar dari antrian untuk pindah ke antrian loket sebelah, tentu saja di urutan paling belakang. Setelah lewat empat puluh menit, akhirnya ia pun sampai ke depan loket. Lagi-lagi dengan suara ramah petugas loket menyapanya. “Wah Pak…. untuk bisa dikirim, barang ini harus dibungkus dengan pembungkus yang kuat. Jadi harus di bungkus ulang,” demikian dengan lancar petugas loket memberi kan penjelasan. “Lalu harus bagaimana saya?” tanya sang lelaki paruh baya
“Silakan ke meja pelayanan di ujung pak, ada petugas yang akan membantu membungkus kiriman Bapak.” Petugas mempersilakan lelaki paruh baya itu untuk keluar dari antrian.
Baca juga:
alat analisis data kuantitatif
Tentu saja, lelaki paruh baya itu mengikuti anjuran petugas. Setelah dikemas dengan pembungkus yang kuat dan label alamatnya dipindah, ia kembali mengantri.
Antrian itu telah mengular panjang. Ia kini mendapat nomor giliran ke-30. Butuh waktu satu jam untuk lelaki paruh baya itu akhirnya sampai kembali ke depan petugas loket.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu,” Dengan senyum manisnya petugas loket menyapa. Sang lelaki paruh baya itu pun berkata bahwa dirinya hendak mengirimkan barang seraya menyerahkan bungkusan yang ada di tangannya. Petugas pun menimbang dan mencatat kiriman tersebut sambil memeriksa alamat pengiriman. “Lho Pak…ini alamatnya nggak lengkap. Jalan Masjid itu banyak Pak, jadi harus dilengkapi kode pos.”
“Oh begitu ya….jadinya bagaimana?” Lelaki itu merasa masygul.
“Ya..bapak ke meja customer service dulu…di sana ada buku kode pos, jangan lupa tulis dengan lengkap ya Pak,” petugas loket pun memberikan saran terbaiknya.
Sambil menggelengkan kepala lelaki paruh baya itu keluar dari antrian menuju meja Customer service. Butuh waktu lima belas menit untuk mencari dan menuliskan kode pos yang dimaksud. Setelah itu lelaki paruh baya itu pun kembali ke jalur antrian yang panjang. Sekali lagi ia mengantri dari belakang.
Akhirnya lelaki paruh baya itu pun sampai kembali ke depan petugas loket. Kali ini segalanya berjalan lancar. Bungkusan ditimbang, diperiksa kelengkapan alamatnya, dan ongkos kirim pun dibayar tunai oleh lelaki paruh baya. Sambil menunggu petugas loket menghitung uang kembalian, lelaki paruh baya itu pun berucap: ”Mas…sebenarnya saya baru pertama memanfaatkan layanan disini. Saya adalah orang yang pertama kali datang ke sini pagi hari tadi. Setelah mengalami semua pelayanan disini, percayalah….ini adalah kedatangan saya yang terakhir.”*** https://bit.ly/3PHiSUW