Ketika saya datang pertama kali ke kota Bandung berpuluh tahun silam, saya sangat buta dengan seluk beluk kota berjuluk Parijs van Java ini. Untuk memandu saya agar bisa ke tempat yang dituju, saya membeli sebuah peta. Dengan penuh saksama saya mencermati nama-nama jalan serta sejumlah landmark yang ada dalam peta tersebut. Saya ingat baik-baik nama jalan dan lokasi-lokasi landmark penting tersebut. Setelah hapal betul, peta itu kemudian saya simpan. Selanjutnya, saya menjalani hidup sebagai insan pos sekaligus warga kota Bandung dengan dipandu peta kota yang ada dalam ingatan saya.
Kota Bandung tumbuh dengan pesat. Jika puluhan tahun silam tidak ada jalan tol, kini jalan tol Cipularang sambung menyambung dengan tol Purbaleunyi menjadi bagian dari infrastruktur kota yang menjadi kantor pusat PT Pos Indonesia, tempat saya mengabdi. Kemacetan yang terjadi dan jalur yang bertele-tele dari arah jalan Pasteur menuju Gedung Sate, kini dipangkas dengan dibangunnya Jalan layang Pasupati. Aneka Mall, komplek perumahan, hingga fasilitas publik dibangun dimana-mana. Demikian juga nama jalan, mengalami perubahan. Jalan Dago diubah menjadi jalan ir. H. Djuanda, jalan Papandayan berganti nama menjadi Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jalan kebon Kelapa menjadi Jalan Abdul Muis, Kiaracondong menjadi Jalan Jenderal Ibrahim Adji, serta masih banyak lagi. Terminal Bus Antarkota yang semula di Kebon Kelapa sudah dipindah ke Leuwipanjang. Tentu saja, nama-nama tersebut tak akan ditemukan pada peta lama yang saya miliki, baik yang tertanam dalam ingatan saya maupun yang tersimpan di lemari kerja.
Lucunya, meski sudah terjadi perubahan landskap kota, saya dan boleh jadi kebanyakan orang Bandung, masih menggunakan peta lama dalam perbincangan sehari-hari. Misalnya ketika memberi petunjuk rute jalan kepada seseorang, kita masih menyebut nama jalan Dago dan Kiaracondong. Demikian pula ketika kita melintas dari tol Pasteur masih lebih suka mengikuti jalan berkelok dan macet dari Cipaganti-Siliwangi, terus ke Ir. H.Djuanda untuk mencapai Gedung Sate. Ya, kita cenderung tetap menggunakan peta lama dalam ingatan kita untuk memandu aktivitas sehari-hari. Bahkan tak sedikit dari kita yang menolak menggunakan nama-nama jalan baru, sebaliknya kembali menggunakan nama-nama jalan yang lama.
Sampai pada suatu ketika Saudara saya datang dari Jawa Timur. Ia baru pertama kali datang ke kota Bandung. Tiba pada pagi hari menggunakan bus antarkota di terminal Leuwi Panjang untuk suatu keperluan penting pagihari itu pula. Dia menelpon saya untuk meminta dipandu rute jalan. Saya menyebut nama-nama jalan yang harus dilaluinya untuk mencapai tempat tinggal saya di Antapani. Beberapa jam lamanya ia baru tiba ke rumah saya. Ia mengeluh, beberapa nama jalan yang saya sebut tidak ia temukan, beberapa lokasi juga sudah tidak dikenali. Sejumlah rute jalan macet mengular, rute angkutan kota juga banyak berubah.
Peristiwa itu menyadarkan saya, bahwa peta yang ada dalam ingatan saya harus segera dimutakhirkan. Saya juga harus beradaptasi dengan peta yang terus dimutakhirkan itu. Saya harus membiasakan diri untuk menyebut nama jalan Ibrahim Adji untuk jalan yang menghubungkan jalan Jakarta dengan Soekarno Hatta, atau membiasakan diri untuk melintasi jembatan Pasupati agar lebih cepat sampai ke kantor pusat Pos Indonesia di sisi Gedung Sate. Demikian pula landmark-landmark baru harus saya hapal untuk memudahkan saya memenuhi berbagai kebutuhan secara lebih efektif dan efesien.
Apa maknanya cerita tentang saya dan peta kota Bandung ini dalam konteks transformasi Pos Indonesia? Cara kita bertindak dan merespons bisnis sangat ditentukan oleh paradigma bisnis yang ada dalam benak kita. Nah, dalam benak setiap insan pos terdapat peta paradigma bisnis pos yang tertanam sejak dulu ketika ia masuk menjadi bagian dari perusahaan.
Sementara itu, Lingkungan bisnis seperti juga lingkungan kota Bandung yang mengalami perkembangan dan perubahan terus menerus. Kini ada UU nomor 38 Tahun 2009 yang jelas sangat mengubah betul paradigma bisnis pos. Liberalisasi, interkoneksi, dan pengelolaan perusahaan yang berbasis Good Corporate Governance menjadi pola dasar yang baru dalam bisnis pos di Indonesia. Suatu hal yang menuntut kita secepatnya memperbaharui peta paradigma bisnis yang ada dalam benak masing-masing. Bila tidak, kita akan tersesat dan terlambat meraih peluang-peluang bisnis pos yang justru semakin marak bertumbuhan di negeri ini. Bukan hanya itu, pesaing bisnis akan dapat dengan mudah mengambil lebih banyak lagi pangsa pasar yang sudah kita kuasai selama ini. Memutakhirkan peta bisnis pos dalam benak kita adalah sebuah keharusan agar tetap sukses dalam bisnis pos masa kini maupun masa mendatang.(***)